Skip to main content

Bahagia Itu Sederhana

Oleh: Adhy SuryadiPada: Januari 24, 2020

Bahagia Itu Sederhana

"Pak, persediaan beras hampir habis, mungkin hanya cukup untuk beberapa hari saja," kata istriku sambil membawakan kopi hitam kesukaanku. Kemudian dia duduk di kursi sampingku di teras rumah.

"Begitu ya bu? Mudah-mudahan hari ini kita dapat uang, kebetulan Pak Haji Daud menyuruh bapak untuk menyiangi kebunnya," kataku sambil menyeruput kopi.

"Alhamdulillah...." gumam istriku sambil mengusapkan kedua telapak tangannya ke mukanya. Tergambar sebuah harapan di mukanya, terasa getir melihat hal itu. Sampai hari ini aku belum bisa memberikan kebahagiaan buatnya, hanya hidup yang serba pas-pasan. Namun aku bersyukur memiliki istri yang bisa menerima hidup apa adanya dan tidak banyak menuntut.

Kami hidup di sebuah pedesaan di pinggiran kota dengan dikaruniai dua orang anak laki-laki. Anak yang paling besar sudah kelas 2 SLTA dan yang kecil masih berumur 8 tahun. Aku bekerja sebagai buruh harian lepas, hampir semua pekerjaan bisa aku lakukan. Jadi alhamdulillah banyak orang yang memberi pekerjaan untuk mengerjakan apa yang tidak bisa mereka lakukan. Hasilnya alhamdulillah bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga walaupun pas-pasan.

"Bapak pergi dulu ya bu, gak enak kalau terlalu siang," kataku setelah menghabiskan kopi.

"Iya pak, hati-hati ya...."

Kulangkahkan kaki menuju tempat pekerjaan di kebun Pak Haji Daud di pinggiran desa. Sambil berjalan, aku berdoa agar selalu bisa menjalan tugas sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah.

★★★★★

"Assalamualaikum...."

"Wa'alaikum salam, sudah pulang pak?" terdengar istriku menjawab sambil membukakan pintu rumah.

"Iya bu...." jawabku sambil menghempaskan pantat di lantai. Maklum di dalam rumahku tidak ada kursi, jadi duduknya langsung di lantai. Kulirik jam yang tergantung di dinding, menunjukan pukul 4 lebih. "Masih ada waktu buat shalat Ashar," kataku dalam hati.

Tanpa diperintah, istriku membawakan segelas air putih yang kemudian langsung kuminum.

"Bapak mandi dulu ya, Asharnya keburu akhir," kataku sambil bangkit dan melangkahkan kaki ke kamar mandi.

"Assalamualaikum...," terdengar seseorang beruluk salam di luar rumah.

"Wa'alaikum salam... eh Bu Sari... silahkan masuk bu."

"Iya neng Citra, ma'af ya sore-sore sudah mengganggu. Suamimu ada?" kata Bu Sari terlihat agak gugup dengan wajah sedikit pucat.

"Iya ada bu, lagi shalat. Tunggu sebentar ya...."

Setelah selesai shalat, aku kembali ke ruang tengah dengan masih menggunakan sarung. Ternyata ada tamu yang tengah menunggu.

"Eh ada bu Sari... sudah lama bu?" tanyaku sambil duduk di depannya. Tampak istriku membawakan dua gelas air putih kemudian duduk di sampingku.

"Barusan saja cep Deni, ma'af sudah mengganggu ya...."

"Gak apa-apa bu... ada apa ya bu? Sepertinya ibu tengah mengkhawatirkan sesuatu?"

"Ini cep Deni... anu... saya mau pinjam uang barangkali ada. Anak saya tiba-tiba panas tinggi, sepertinya harus dibawa ke poliklinik sementara saya tidak pegang uang," kata Bu Sari dengan mata berlinang dan badannya bergetar.

Aku saling pandang dengan istriku. Tak tega juga melihat Bu Sari seperti itu, aku membayangkan bagaimana jika aku berada di posisi seperti itu. Sebenarnya hari ini alhamdulillah aku mendapat uang 150 ribu dari Pak Haji Daud yang membayar penuh karena puas dengan pekerjaanku menyiangi kebunnya. Rencananya uang tersebut untuk membeli persediaan beras kami yang sudah menipis.

Kupandangi istriku sekali lagi, tampak dia menganggukkan kepala. Sepertinya dia mengerti apa yang aku pikirkan.

"Begini bu Sari, alhamdulillah ada uang tapi cuma sedikit, hanya 150 ribu. Apakah cukup?" kataku sambil mengeluarkan uang dari saku hasil bekerja tadi siang yang rencananya akan diberikan pada istriku.

"Alhamdulillah... mudah-muhan saja cukup cep," kata Bu Sari sambil menerima uang, tangannya tampak bergetar.

"Ibu jangan bingung dulu untuk mengembalikan uangnya, yang penting si Sinta sembuh dulu ya.... Uangnya bisa dikembalikan kapan saja kalau sudah ada," kataku lagi untuk menenangkan bu Sari.

"Iya... cep terima kasih. Kalau gitu ibu pamit dulu ya mau langsung bawa Sinta ke poliklinik," ucap bu Sari sambil bergegas bangkit dari duduknya untuk pergi.

"Assalamualaikum...," bu Sari pamitan.

"Wa'alaikum salam... hati-hati bu," sambil mengantarkan bu Sari ke depan pintu.

"Sabar ya bu, hari ini kita tidak jadi beli beras. Mudah-mudahan besok ada rezekinya lagi," kataku sambil menggandeng istriku masuk ke dalam rumah.

"Iya pak gak apa-apa, bu Sari lebih membutuhkan uang daripada kita. Lagian beras masih ada untuk beberapa hari ini," kata istriku sambil tersenyum.

"Alhamdulillah...." kurangkul istriku. Walau kami hidup pas-pasan tapi kami merasa bahagia.

Ternyata bahagia itu sederhana, tidak berbentuk tapi terasa.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar