Skip to main content

Buah Dari Keikhlasan

Oleh: Adhy SuryadiPada: Februari 01, 2020

Buah Dari Keikhlasan

Siang itu cuaca sangat panas, matahari memancarkan sinarnya dengan terik seperti sedang marah kepada penduduk bumi atas semua kerusakan yang terjadi di muka bumi.

Terlihat sesekali Heru menyeka keringat di keningnya, kemudian mengipas-ngipaskan kerah bajunya.

"Panas sekali hari ini ya Bu," kata Heru pada istrinya yang duduk di sampingnya.

"Iya Pa, ini bajuku sudah basah sama keringat. Padahal panas, tapi yang jajan sepi ya Pa."

"Mungkin lagi pada malas ke luar rumah karena cuacanya terlalu panas." kata Heru sambil tersenyum berusaha menghibur istrinya.

Heru bersama istrinya, Asri membuka usaha kecil-kecilan jualan jus dan sop buah di depan rumahnya. Kebetulan rumahnya di pinggir jalan raya di sebuah kota kecil, jadi cocok juga untuk buka usaha sendiri karena banyak orang lewat.

Namun meskipun hari itu cukup panas, tapi sampai tengah hari mereka baru menjual beberapa mangkuk sop buah.

Dari kejauhan tampak seorang kakek tua tengah berjalan di pinggir jalan. Keringat bercucuran membasahi wajahnya yang sudah keriput, pun dengan bajunya yang lusuh dan basah oleh keringat karena memang hari sedang panas-panasnya.

Sesampainya di depan kios jus milik Heru, kakek itu menghentikan langkahnya. Tampak ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering, kemudian ia mampir ke kios Heru.

"Nak, boleh kakek meminta segelas air putih? Haus sekali," kata kakek pada Heru yang ada di dalam kiosnya.

"Oh, boleh kek... sebentar ya. Silakan duduk dulu kek," kata Heru sambil mempersilahkan si kakek untuk duduk dulu.

"Ini kek airnya, silahkan...," Heru menyerahkan segelas air sambil terus duduk di depan si kakek.

Tangan tua kakek menerima gelas berisi air, lalu buru-buru meminumnya.

"Bismillahirromatirohiim...," glek... glek...glek... terdengar suara kerongkongan si kakek menelan air pemberian Heru.

"Alhamdulillah...," kata si kakek sambil menyimpan gelas kosong di meja, kemudian dia menyeka keringat di keningnya dengan lengan bajunya.

"Kakek ini dari mana dan mau ke mana? Kok berjalan sendirian?" tanya Heru setelah melihat si kakek sudah tampak lebih segar setelah minum. Melihat kakek ini hati Heru menjadi terenyuh, ia kembali mengingat bapaknya yang sudah tiada.

"Kakek tadi pergi ke pasar Kemis, tapi malah kecopetan. Jadi terpaksa balik lagi jalan kaki," kata si kakek menerangkan.

"Tega bener tuh copet... Jadi kakek tadi jalan kaki dari pasar Kemis? Itu kan jauh 10 km jaraknya," kata Heru sambil geleng-geleng kepala.

"Terus kakek pulangnya ke mana?" tanya Heru. Dia tidak mengenal kakek ini, berarti bukan penduduk di kampungnya, mungkin dari kota sebelah pikirnya.

"Kakek mau pulang ke Cikunir," terang si kakek.

"Oh... Cikunir... jauh kek, itu kan 20 km dari sini... kakek mau pulang jalan kaki?"

"Ya mau gimana lagi, kakek gak ada ongkos untuk naik angkot."

"Kalau gitu, kakek makan sop buah dulu sebelum pulang ya...," kata Heru menawarkan sop buah pada si kakek.

"Bu buatkan satu sop buah buat kakek ya," kata Heru pada istrinya. Tampak Asri membuat sop buah pesanan suaminya.

"Ini kek sop buahnya," kata Asri sambil tersenyum pada si kakek.

Si kakek tampak lahap makan sop buahnya, pasti lapar habis berjalan jauh. Selesai makan, si kakek pamitan mau meneruskan perjalanannya. Tapi Heru dan Asri melarangnya untuk pulang dengan jalan kaki, kemudian mereka memberinya uang untuk ongkos pulang.

Tidak lama setelah kakek tadi pulang, tampak sebuah sepeda motor berhenti di depan kios Heru.

"Kang... sop buah satu ya...," pemuda tersebut memesan sop buah sambil duduk di kursi.

"Iya... tunggu sebentar ya," kata Heru sambil terus membuat sop buah pesanan pemuda itu.

"Ini cep sop buahnya."

"Hmmm... seger juga makan sop buah panas-panas begini ya kang, enak lagi sop buahnya," kata pemuda tersebut sambil terus memakan sop buahnya.

"Hehehe... terima kasih cep," kata Heru sambil tersenyum. Hatinya merasa senang sop buah buatannya disenangi pembeli.

"Begini kang, tadinya sih gak kepikiran... tapi setelah makan sop buah akang jadi kepikiran, kayaknya cocok dihidangkan di acara hajatan nikahan saya minggu depan. Habis sop buah akang enak, lain daripada yang lain," kata pemuda tersebut.

"Bagaimana, mau kan kang?" tanyanya kemudian pada Heru yang tengah melongo mendengarkan perkataan pemuda tersebut yang panjang lebar.

"Eh... iya... siap cep, di mana dan kapan nikahannya cep?" kata Heru balik bertanya seolah dia tidak percaya mendapat pesanan hajatan.

"Minggu depan kang, ini waktu dan alamatnya ada di undangan," kata pemuda tersebut sambil menyerahkan selembar surat undangan.

"Dan ini sebagai tanda jadinya saya kasih uang muka 3 juta ya kang, kurang lebihnya nanti setelah acara ya," si pemuda menyodorkan gepokan uang sebagai tanda jadi pesanan sop buah untuk acara pernikahannya.

"Ya Allah... engkau maha pemurah, hamba hanya memberi semangkuk sop buah pada seorang kakek, tapi engkau balas dengan berlipat-lipat," kata Heru dalam hatinya sambil menerima uang pemberian pemuda tersebut sebagai tanda jadi pesanan sop buat untuk hidangan acara hajatan.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar