Skip to main content

Sepeda Ontel Tua Penjual Sapu bagian 2

Oleh: Adhy SuryadiPada: Februari 20, 2020

Sepeda Ontel Tua Penjual Sapu bagian 2

Cerita sebelumnya: Sepeda Ontel Tua Penjual Sapu

Sudah sebulan sejak terakhir kalinya melihat kakek Jamhuri jumatan di mesjid kampungku setelah sebelumnya aku membeli sapu padanya. Berarti sudah 4 Jumat tidak melihat Ki Jamhuri lewat depan rumah menjajakan sapu lidi.

Sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa antara aku dengan kakek Jamhuri, namun aku respect dengan kegigihannya untuk bertahan hidup di usia tuanya. Beliau pantang untuk mengemis dan meminta-minta, tetap berusaha walaupun hasilnya tidak seberapa.

Namun entah kenapa hati ini merasa rindu untuk melihat beliau, atau sekedar menyuguhinya minum dan melihat beliau tersenyum. Aku merasa seperti melihat kakekku yang sudah tiada.

Akhirnya aku mulai mencoba mencari informasi tentang keberadaan kakek Jamhuri. Kutanyai setiap orang barang kali ada yang tahu di mana kakek Jamhuri tinggal, namun mereka pun sama tidak mengetahuinya.

Setelah tanya sana-sini namun tidak mendapatkan hasil, akhirnya aku mencoba bertanya ke Ustadz Ujang, yang merupakan pengurus mesjid.

"Tadz... barangkali tahu, kakek Jamhuri itu tinggalnya di mana ya?" tanyaku selepas shalat Dzuhur.

"Kakek Jamhuri yang mana ya?" ustadz malah bertanya balik.

"Itu lho kakek yang berjualan sapu lidi yang suka ikut shalat Jum'at di sini," terangku.

"Oh... kakek itu, kalau gak salah dia orang Cilandak. Sudah agak lama saya tidak melihat ada Jum'atan di mesjid," kata Ustadz Ujang. Rupanya ia juga merasa kehilangan sosok tua itu.

"Nah, itu dia... saya sudah tidak melihatnya sebulan ini. Biasanya setiap hari Jum'at selalu lewat di depan rumah."

"Iya, dan yang saya tahu, beliau selalu bersedekah ke keropak mesjid, subhanallah...," terang Ustadz Ujang.

"Mudah-mudahan beliau baik-baik saja," lanjutnya lagi.

"Kalau gitu, saya akan ke Cilandak buat memastikan keadaannya," kataku kemudian. Cilandak sebenarnya masih termasuk tetangga kampung, tapi terselang satu kampung. Lumayan jaraknya agak jauh, sekitar 20 Km dari tempat tinggalku.

★★★★★

Sesampainya di kampung Cilandak, aku mulai menanyakan rumah kakek tua penjual sapu lidi. Rupanya tidak sulit untuk mencari rumah kakek Jamhuri karena hampir semua orang di kampung itu mengenalnya.

Dan kebetulan ada seorang warga yang bersedia mengantarku ke rumah Ki Jamhuri. Masuk ke sebuah gang dan menuju ke pinggiran pesawahan, tampak sebuah rumah kecil berdinding bilik bambu yang terlihat sepi.

Di pinggir rumah tampak sebuah sepeda ontel tua yang kukenal bersender di dinding rumah yang tampak berlubang karena sudah rapuh di beberapa bagian.

"Nah ini rumah Ki Jamhuri, tapi...."

"Oh, iya betul saya tahu sepeda itu," tidak sadar saya memotong ucapan akang yang mengantarkanku, saking senangnya sudah menemukan rumah Ki Jamhuri.

"Anu... Ki Jam,"

"Kayaknya Ki Jamhuri gak ada di rumah ya kang...," lagi-lagi saya tidak sadar memotong ucapannya, sambil tengak-tengok ke dalam rumahnya melalui jendela depannya yang terbuka.

Tiba-tiba terasa sebuah tepukan di pundakku, kemudian aku menoleh untuk melihat siapa yang menepukku. Ternyata akang yang mengantarku yang menepuk bahuku tadi.

"Ada apa kang?" tanyaku.

"Begini... mari kita duduk dulu," kata akang itu sambil duduk di kursi yang kebetulan ada di depan rumah itu.

"Ki Jamhuri sudah meninggal sebulan yang lalu," kata akang itu sambil menatap mukaku.

"Apa? Sudah meninggal?" tanyaku tidak percaya dengan apa yang kudengar.

"Betul, Ki Jamhuri sudah meninggal. Jadi rumah ini sekarang kosong tidak ada penghuninya." Kemudian si akang mulai bercerita mengenai Ki Jamhuri.

Ternyata selama ini Ki Jamhuri hidup seorang diri, beliau sudah tidak memiliki sanak saudara lagi. Rumah kecil yang ditinggalinya pun merupakan bantuan warga untuk menggantikan gubuknya yang hampir roboh.

Sehari-hari Ki Jamhuri membuat sapu lidi dari daun kelapa yang sudah jatuh yang diambil dari kebun warga, dan semua warga di situ sudah mengetahuinya dan membolehkan Ki Jamhuri untuk mengambilnya. Dan setiap hari Jum'at, Ki Jamhuri menjual sapu-sapu yang sudah terkumpul dengan berkeliling dari kampung ke kampung.

Ki Jamhuri orangnya baik, makanya semua orang di kampung itu mengenalnya. Dan ternyata Ki Jamhuri juga orang yang rajin adzan di mesjid, jadi semua orang di kampung itu merasa kehilangan juga oleh sosok tua yang ternyata hidupnya sebatang kara.

Begitulah cerita tentang Ki Jamhuri yang baru saya ketahui, namun setelah beliau tiada. Meski begitu, banyak pelajaran hidup yang bisa kuambil yang mungkin tidak semua orang bisa hidup seperti itu.

Semoga engkau dilapangkan di sisi-Nya, amiin.

Tamat.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar